WELCOME


I made this widget at MyFlashFetish.com.

indonesia

Another Source

Jumat, 28 Januari 2011

KISAH GUNUNG KRAKATAU 1883

Kisah Gunung Krakatau 1883

Lukisan Gunung Krakatau

Lebih Hebat dari Bom Atom
anggal 27 Agustus adalah hari ketika terjadinya letusan dahsyat Krakatau yang sempat menggoncangkan seluruh dunia. Pada tanggal 27 Agustus 1883, bertepatan dengan hari Minggu, dentuman pada pukul 10.02 terdengar di seluruh wilayah Nusantara, bahkan sampai ke Singapura, Australia, Filipina, dan Jepang.
Bencana yang merupakan salah satu letusan terhebat di dunia itu sempat merenggut sekitar 36.500 jiwa manusia.
Kegiatan dimulai dengan letusan pada tanggal 20 Mei 1883, waktu kawah Perbuatan memuntahkan abu gunung api dan uap air sampai ketinggian 11 km ke udara. Letusan ini walaupun terdengar sampai lebih dari 350 km (sampai Palembang), tidak sampai menimbulkan korban jiwa.
Pada letusan tanggal 27 Agustus itu bebatuan disemburkan setinggi 55.000 m dan gelombang pasang (Tsunami) yang ditimbulkan menyapu bersih 163 desa. Abunya mencapai jarak 5.330 km sepuluh hari kemudian. Kekuatan ledakan Krakatau ini diperkirakan 26 kali lebih besar dari ledakan bom hydrogen terkuat dalam percobaan.
Dikira Meriam Apel
Seorang pengamat di rumahnya di Bogor, pada tanggal 26 Agustus pukul satu siang mendengar suara gemuruh yang tadinya dikira suara guntur di tempat jauh. Lewat pukul setengah tiga siang mulai terdengar letupan pendek, sehingga ia mulai yakin bahwa kegaduhan itu berasal dari kegiatan Krakatau, lebih-lebih sebab suara berasal dari arah barat laut-barat. Di Batavia gemuruh itu juga dapat didengar, demikian pula di Anyer. Di serang dan Bandung suara-suara itu mulai terdengar pukul tiga.
Seorang bintara Belanda yang ditempatkan di Batavia mengisahkan pengalaman pribadinya. Seperti banyak orang lainnya ia mengira bahwa dunia akan kiamat saat itu.
“Tanggal 26 Agustus itu bertepatan dengan hari Minggu. Sebagai sersan pada batalyon ke-IX di Weltevreden (Jakarta Pusat) hari itu saya diperintahkan bertugas di penjagaan utama di Lapangan Singa. Cuaca terasa sangat menekan. Langit pekat berawan mendung. Waktu hujan mulai menghambur, saya terheran-heran bahwa di samping air juga jatuh butiran-butiran es.”
“Sekitar pukul dua siang terdengar suara gemuruh dari arah barat. Tampaknya seperti ada badai hujan, tetapi diselingi dengan letupan-letupan, sehingga orangpun tahu bahwa itu bukan badai halilintar biasa.”
“Di meja redaksi koran Java Bode orang segera ingat pada gunung Krakatau yang sudah sejak beberapa bulan menunjukkan kegiatan setelah beristirahat selama dua abad. Mereka mengirim kawat kepada koresponden di Anyer, sebuah pelabuhan kecil di tepi Selat Sunda, tempat orang bisa menatap sosok Krakatau dengan jelas pada cuaca cerah. Jawabnya tiba dengan cepat: ‘Disini begitu gelap, sampai tak bisa melihat tangan sendiri.’ Inilah berita terakhir yang dikirimkan dari Anyer…”
“Pukul lima sore gemuruh itu makin menghebat, tapi tidak terlihat kilat. Letusan susul-menyusul lebih kerap, seperti tembakan meriam berat. Dari Lapangan Raja (Merdeka) dan Lapangan Singa (Banteng) terlihat kilatan-kilatan seperti halilintar di ufuk barat, bukan dari atas ke bawah, tetapi dari bawah ke atas. Waktu hari berangsur gelap, di kaki langit sebelah barat masih terlihat pijaran cahaya.”
Sudah menjadi kebiasaan bahwa tiap hari pukul delapan tepat di benteng (Frederik Hendrik, sekarang Mesjid Istiqlal) ditembakkan meriam sebagai isyarat upacara, disusul dengan bunyi terompet yang mewajibkan semua prajurit masuk tangsi. Para penabuh genderang dan peniup terompet batalyon itu sudah siap pada pukul delapan kurang seperempat. Mereka masih merokok santai sebelum mereka berbaris untuk memberikan isyarat itu. Tiba-tiba terdengar tembakan meriam menggelegar, jauh lebih dini daripada biasanya.
Mereka segera berkumpul membentuk barisan dan setelah terompet dibunyikan, mereka berbaris sambil membunyikan genderang dan meniup terompet. Baru saja mereka mencapai asrama ketika meriam yang sebenarnya menggelegar dari dalam benteng. Gunung Krakatau ternyata mengecoh mereka!
Batavia Jadi Dingin
“Sementara itu ‘penembakan’ berlangsung terus. Kadang-kadang bunyinya seperti tembakan salvo beruntun, kilatan-kilatan menyambar-nyambar ke langit. Semua orang tercekam ketakutan. Tiada seorangpun percaya bahwa ada badai mengamuk jauh di sana. Hampir tidak ada orang yang berani tidur malam itu. Banyak yang berkumpul di halaman rumah mereka sambil mengarahkan pandangan mereka ke arah barat dan memperbincangkan kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan gejala alam yang aneh itu. Hanya anak negeri yang tak ragu-ragu: ‘Ada gunung pecah,’ kata mereka.”
“Menjelang tengah malam tiba perwira piket, Letnan Koehler. Ia mengatakan kepada saya bahwa seluruh kota sedang dalam keadaan panik. Penduduk asli berkumpul di masjid-masjid untuk bersembahyang. Penduduk Belanda tetap terjaga di rumah masing-masing atau pergi ke rumah bola Concordia atau Harmonie untuk saling mencari dukungan dari sesamanya.”
“Menjelang pukul dua pagi rentetan letusan bak tembakan cepat artileri itu mencapai puncaknya. Rumah-rumah batu bergetar dan jendela-jendela bergemerincing. Gelas lampu penerangan jalan jatuh dan bertebaran di tanah, kaca etalase toko pecah, penerangan gas di banyak rumah padam. Sesudah itu ledakan-ledakan mereda, namun dari arah barat masih terdegar suara gemuruh.”
“Kemudian saya merasakan bahwa udara makin menjadi dingin. Dalam beberapa jam saja suhu udara telah menurun sedemikian rupa, sampai saya gemetar kedinginan di pos jaga. Belum pernah di Batavia udara sedingin itu. Waktu saya melihat keluar ternyata seluruh kota diliputi oleh kabut tebal. Penerangan jalan di seberang Lapangan Singa tak dapat saya lihat lagi, meskipun saya mendengar dari rekan lain bahwa lampu-lampu masih menyala. Tak lama kemudian ternyata kabut itu bukan kabut biasa, melainkan hujan abu, yang jatuh tak lama setelah lewat tengah malam mula-mula jarang-jarang, tetapi makin lama makin deras, sehingga segalanya terselimuti oleh kabut abu yang tebal.”
“Pada pukul enam pagi, sesuai peraturan, semua lampu harus dipadamkan, tetapi matahari tidak terbit! Baru sekitar pukul tujuh nampaknya fajar seperti akan menyingsing, tetapi hari itu tak akan menjadi terang. Hawa makin menjadi dingin, sehingga saya memerintahkan anak buah saya untuk mengenakan jas hujan mereka. Sementara itu abu turun dengan tiada putus-putusnya. Abu itu ke mana-mana, bangsal jaga juga dilapisi oleh serbuk halus yang berwarna kelabu keputih-putihan. Prajurit jaga yang saya lihat dari jendela sedang mondar-mandir, nampak seperti boneka salju kelabu yang bergerak secara mekanis.”
“Sekitar pukul sembilan pagi ledakan-ledakan dan guruh makin bertambah. Pada pukul sepuluh hari gelap seperti malam. Lampu-lampu gas dinyalakan kembali. Lapisan abu setebal 15 mm menutupi segala yang ada. Jalan-jalan sunyi senyap, tak ada yang berani menampakkan diri. Saya merasa seorang diri di dunia, di dunia yang tak lama lagi bakal runtuh!”
“Pada pukul 10.40 akhirnya tiba telegram dari Serang, yang isinya memuat sedikit keterangan mengenai penyebab gejala-gejala alam yang mengerikan itu. Kawat itu berbunyi:
‘Kemarin petang Krakatau bekerja. Bisa didengarkan di sini. Semalam suntuk cahayanya terlihat jelas. Sejak pukul sebelas ledakan-ledakan makin hebat dan tak terputus-putus. Setelah hujan abu deras pagi ini matahari tak tampak, gelapnya seperti pukul setengah tujuh malam. Merak dimusnahkan gelombang pasang. Sekarang di sini sedang hujan kerikil Tanpa payung kuat tak ada yang berani keluar’.”
“Lewat pukul duabelas, ketika di Batavia masih gelap gulita dan sangat dingin, tersiar berita kawat dari pelabuhan Pasar Ikan dan Tanjung Priok. Sebuah gelombang pasang telah membanjiri kota bagian bawah. Permukaan air dua meter di atas garis garis normal. Kapal uap Prinses Wilhelmina dicampakkan ke pangkalan, seperti juga kapal Tjiliwoeng yang cerobong asapnya merusak atap kantor pabean. Sejumlah kapal motor dan perahu terdampar acak-acakan di Pelabuhan Pasar Ikan, berlumuran lumpur dan abu tebal. Pengungsi mulai mengalir sepanjang jalan raya dengan membawa harta benda yang bisa dijinjing ke arah Weltevreden yang lebih tinggi letaknya. Pada pukul dua dan empat sore datang lagi gelombang pasang, tetapi kali ini kurang tinggi dibandingkan yang pertama.”
“Di sebelah barat kini menjadi tenang dan kelam makin berkurang, sehingga matahari mulai nampak sebagai bercak merah kotor pada langit yang kelabu.”
“Pada pukul lima petang saya diganti dan menerima perintah untuk segera menyiapkan suatu pasukan yang akan diberangkatkana ke daerah yang terkena musibah di Sumatra Selatan. Pada saat itu di Batavia tidak seorangpun tahu dengan tepat apa yang sebenarnya terjadi di sebelah barat. Semua hubungan telegram dengan daerah yang terlanda malapetaka terputus.”
Serang Sunyi Mencekam
Kalau di Jakarta, air pasang itu tak mengambil korban terlalu besar, tapi di daerah pantai sebelah barat Jawa Barat yang lebih dekat dengan gunung yang sedang murka itu, akibatnya sangat mengerikan. Di Tangerang, pantai utaranya digenangi sampai sejauh satu hingga satu setengah km dengan meminta korban manusia cukup besar. Sembilan buah desa pantai musnah. Korban di daerah ini tercatat 1.794 orang penduduk asli dan 546 Cina dan Timur Asing lainnya.
Di Serang suara gemuruh mulai terdengar pada pukul 3 siang, hari Minggu. Malamnya terus-menerus tercium bau belerang dan guruh serta kilat terlihat dari arah Krakatau.
Hari Seninnya langit di sebelah barat berwarna kelabu, lalu hujan abu turun tanpa hentinya. Pukul setengah sebelas hari mulai kelam, dan makin menggelap, sehingga hampir tak terlihat apa-apa. Lewat pukul sebelas datang kawat dari Serang bahwa telah terjadi hujan kerikil batu apung; tak lama kemudian hubungan telegram dengan Jakarta terputus.
Setelah hujan kerikil menyusul hujan lumpur, yakni abu basah yang melekat pada daun-daun dan dahan-dahan pohon sehingga kadang-kadang runtuh karena beratnya. Sekitar pukul 12 hujan lumpur ini berhenti, tetapi abu kering tetap turun. Anehnya, selama itu di Serang tak terdengar letusan-letusan, bahkan suasana sangat sepi mencekam, yang membuat banyak orang makin gugup dan tertekan.
Hewan peliharaan juga makin gelisah, mereka ingin sedekat mungkin dengan manusia di dalam rumah, di dekat lampu. Dengan kekerasan sekalipun hewan-hewan itu tak berhasil diusir. Setelah pukul dua siang langit mulai terlihat agak terang di sebelah timur, ayam-ayam jantan mulai berkokok. Suara gemuruh mulai terdengar lagi, sedang hujan abu turun terus-menerus dan bau abu belerang menusuk hidung. Pada pukul empat sore lampu-lampu masih dinyalakan.
Surat-surat kabar yang terbit di Batavia tertanggal 28, 31 Agustus, dan 4 September penuh dengan berita-berita tentang malapetaka yang menimpa daerah Banten. Tetapi jarang sekali ada kisah dari saksi mata, sebab tempat-tempat yang letaknya di tepi pantai seperti Merak, Anyer, dan Caringin, hancur luluh dan hanya ada beberapa orang Belanda yang melarikan diri dan tertolong pada saat yang tepat.
Ketika Siuman Semua Gelap
Di Merak seorang pemegang buku pada perusahaan pelabuhan bernama E. Pechler merupakan satu-satunya orang Belanda yang lolos. Ia sedang bertugas membawa telegram atasannya untuk dikirimkan ke Batavia lewat Serang. Berita ini mungkin yang terakhir dikirimkan dari Merak. Isinya laporan kepada Kepala Jawatan Pelabuhan di Betawi, yang menyebutkan bahwa pada hari Minggu tanggal 26 Agustus dan keesokan harinya, sebagian Merak yang lebih rendah letaknya Pecinan, jalan kereta api, tergenangi; jembatan berlabuh dan teluk tempat pengambilan batu untuk pelabuhan rusak; jembatan dan derek-derek masih di tempat saat itu, tetapi gerbong-gerbong sudah masuk laut. Sekitar pukul sembilan pagi Pechler berada di kaki sebuah bukit di luar Merak. Tiba-tiba ia ditimpa hujan lumpur dan badai. Ia melihat gelombang air mendekat, sehingga ia lari tunggang-langgang ke atas sebuah bukit, tapi sebelum ia mencapai puncaknya, ia sudah terkejar air pasang. Apa yang terjadi setelah itu ia tak tahu lagi…
Keesokan harinya ia baru siuman kembali. Tempat sekitarnya sudah kering tetapi ia tak dapat mengenali sekelilingnya karena sangat gelap. Pada hari Selasa ia baru bisa berjalan kembali ke Merak. Di tengah jalan ia melihat sebuah lokomotif yang rusak parah, sekitar 500 m dari tempat berhentinya. Di Merak ia tidak menemukan apa-apa lagi. Bahkan mayat pun tak dijumpainya, semuanya telah dihanyutkan ke laut. Di antara petugas pemerintah di Merak hanya Pechler dan seorang insinyur bernama Nieuwenhuis yang selamat, karena sedang berpergian ke Batavia. Waktu insinyur itu kembali ke Merak, rumahnya yang dibangun di atas bukit setinggi 14 m hanya tinggal lantainya saja.
Hujan Deras Batu Apung di Teluk Betung
Anyer dilanda gelombang pasang pada Senin pagi, tanggal 27, sekitar pukul sepuluh pagi. Gelombang ini menyapu bersih pemukiman di tepi pantai itu, sehingga yang tinggal hanyalah benteng, penjara, kediaman Patih dan Wedana. Dataran sekitar Anyer, yang di belakang tempat itu lebarnya kurang lebih 1 km seakan-akan dicukur gundul; di dekat pantai bongkahan-bongkahan karang dilemparkan ke darat. Caringin yang berpenduduk padat juga hancur luluh; letaknya di dataran yang lebarnya sekitar 1.500 m, disusul oleh bukit-bukit 50m, tempat sejumlah kecil penduduknya menyelamatkan diri. Bukan hanya di darat, tetapi di laut lepas Krakatau juga meneror kapal-kapal yang kebetulan berlayar di dekatnya. Penumpang kapal yang melayari Selat Sunda pada hari naas itu tidak dapat melupakan pengalaman dan ketakutan mereka selama hidupnya. Kapal api Gouverneur Generaal Loudon, dengan nakhoda Lindeman, sebuah kapal Nederland Indische Stoomvaartsmaatschappij (pendahulu KPM) berlayar dari Batavia ke Padang dan Aceh dengan menyinggahi Teluk Betung, Krui, dan Bengkulu. Kapal itu berangkat pada tanggal 26 Agustus pagi hari dari Jakarta. Seorang penumpang kapal itu mengisahkan pengalamannya sebagai berikut:
“Cuaca pagi itu sangat cerah. Siang harinya kami berlabuh di Anyer, sebuah pelabuhan kecil di pantai Banten. Beberapa orang pekerja kasar naik dari pelabuhan ini. Kapal kemudian melanjutkan pelayarannya ke arah Teluk Lampung, melewati Pulau Sangiang dan Tanjung Tua. Di sebelah kiri kapal kami lihat Pulau Rakata dari kejauhan, yang kami singgahi dua bulan yang lalu.”
“Waktu Gunung Krakatau mulai bekerja bulan Mei yang lalu, setelah dua abad beristirahat, perusahaan pemilik kapal Loudon mengadakan suatu tour pariwisata bagi penduduk Batavia. Dengan membayar dua puluh lima gulden kita bisa berlayar ke Pulau Krakatau. Pada waktu itu masih mungkin untuk mendarat ke pulau, bahkan mendaki kawahnya yang mengeluarkan uap putih.”
“Sekarang gunung berapi itu nampaknya jauh lebih gawat. Asap hitam pekat membubung dari kawahnya ke langit biru dan hujan abu halus turun di geladak kapal…”
“Pada pukul 7 petang kami berlabuh di Teluk Betung. Hari amat cepat menjadi gelap, sedang lautpun agaknya makin berombak dan hujan abu makin deras. Kapal Loudon memberi isyarat ke darat agar dikirimi sekoci bagi penumpang yang akan mendarat, tetapi tidak ada jawaban apa-apa. Lalu kapten memerintahkan agar sekoci kapal diturunkan, tetapi gelombang besar tak memungkinkan untuk mencapai darat, sehingga sekoci itu harus kembali lagi.”
“Lampu pelabuhan menyala seperti biasa, tetapi tampaknya ada kejadian-kejadian luar biasa di Teluk Betung. Sekali-sekali terlihat tanda bahaya dari kapal-kapal lain dan terdengar suara kentongan bertalu-talu. Penerangan kota dipadamkan. Sementara itu hujan abu kini berubah menjadi hujan batu apung yang deras…”
Menara Suar Patah Seperti Batang Korek Api
“Dengan rasa kurang enak kami melewatkan malam itu. Air laut makin liar dan ombak-ombak besar mendera lambung kapal tanpa hentinya. Ketika fajar menyingsing kami melihat bahwa Teluk Betung menderita kerusakan cukup parah oleh gelombang pasang. Kapal api pemerintah Barouw, terlepas dari jangkarnya dan dihempaskan ke darat. Gudang-gudang dan gedung-gedung pelabuhan lain rusak. Tetapi tak tampak tanda-anda kehidupan di kota kecil itu…”
“Pukul tujuh pagi tiba-tiba kami melihat dinding air melaju ke arah kapal kami. Loudon sempat melakukan manouver untuk menghindar, sehingga gelombang itu mengenai sejajar dengan sisi kapal. Kapal itu menukik hebat, tetapi pada saat bersamaan gelombang itu telah lewat dan Loudon selamat. Kami sempat melihat betapa air pasang itu mendekati, lalu melanda kota Teluk Betung dengan tenaga tak terbendung…”
“Tak lama kemudian masih ada tiga gelombang dahsyat yang menghambur, yang di hadapan mata kami memporak-porandakan segala apa yang ada di pantai. Kami melihat bagaimana menara suar patah seperti batang korek api dan rumah-rumah lenyap digilas gelombang. Kapal Barouw terangkat, kemudian dicampakkan ke darat melewati puncak-puncak pohon nyiur. Yang tadinya Teluk Betung kini hanya air belaka…”
“Di kota itu tentunya ada ribuan orang yang meninggal serentak dan kotanya sendiri seperti dihapuskan dari muka bumi. Semua itu terjadi dengan cepat dan mendadak, sehingga melintas sebelum kita sempat menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Seakan-akan dengan satu gerakan maha kuat dekor latar belakang sebuah sandiwara telah digantikan…”
“Akhirnya Kapten Lindeman memutuskan untuk meninggalkan teluk itu, karena ia beranggapan bahwa keadaannya cukup berbahaya. Kapal menuju ke Anyer dengan tujuan untuk melaporkan malapetaka yang menimpa Teluk Betung. Tak lama kemudian kapal sudah berlayar di laut lepas. Walaupun hari masih pagi, cuaca makin menggelap, dan menjelang pukul sepuluh sudah gelap seperti malam. Kegelapan itu bertahan selama delapan belas jam dan selama itu turun hujan lumpur yang menutupi geladak sampai hampir setengah meter.”
“Di ruang kemudi nakhoda melihat bahwa kompas menunjukkan gerakan-gerakan yang paling aneh; di laut terjadi arus-arus kuat, yang selalu berubah arahnya. Udara dicemari oleh gas belerang pekat yang membuat orang sulit bernapas dan beberapa penumpang menderita telinga berdesing. Barometer menunjukkan tekanan udara yang sangat tinggi. Kemudian bertiuplah angin kuat yang berkembang menjadi badai. Kapal diombang-ambingkan oleh getaran laut dan gelombang tinggi. Ada saat-saatnya Loudon terancam akan terbalik oleh luapan air yang datang dari samping. Apa saja yang tak terikat kuat dilemparkan ke laut…”
Api Santo Elmo
“Tujuh kali berturut-turut halilintar menghantam tiang utama. Dengan rentetan letupan yang gemeretak, geledek itu kadang-kadang seperti bergantungan di atas kapal yang diterangi cahaya mengerikan. Alat pemadam kebakaran disiapkan di geladak, sebab nakhoda khawatir setiap waktu Loudon bisa terbakar.”
“Kecuali halilintar, kami juga menyaksikan gejala alam aneh lain, yakni apa yang disebut sebagai api Santo Elmo. Di atas tiang kapal berkali-kali terlihat nyala api kecil-kecil berwarna biru. Kelasi-kelasi pribumi mendaki tiang untuk memadamkan ‘api’ itu, tetapi sebelum mereka sampai ke atas gejala itu telah lenyap kemudian terlihat berpindah ke tempat lain. Api biru yang berpindah-pindah itu sungguh merupakan pemandangan yang menyeramkan dan membangunkan bulu kuduk.”
“Antara badai dan ombak besar kami mengalami saat-saat tenang. Tiba-tiba saja semuanya menjadi sunyi senyap dan lautpun licin seperti kaca. Tetapi sepi yang tak wajar ini lebih mencekam daripada gegap gempita ombak dan topan yang harus kami alami. Tak terdengar suara lain, kecuali keluh kesah dan doa para penumpang Indonesia di geladak depan, yang yakin bahwa ajal mereka segera akan sampai.”
“Akhirnya pada malam menjelang tanggal 28 kami melihat sekelumit cahaya membersit dilangit! Seberkas sinar bulan pucat berhasil menembus awan gelap. Ketika itu sekitar pukul empat pagi. Di kapal orang bersorak-sorai gembira dengan rasa syukur dan lega.”
“Memang masih ada batu apung dan abu turun ke geladak, tetapi paling tidak kami bisa melihat sekelilingnya dengan agak jelas. Kami masih berlayar menyusuri pantai Sumatra. Nampaknya pantai sangat sunyi. Yang dulunya ditumbuhi pohon-pohon kini hanya tersisa tunggul bekas batangnya yang patah. Laut penuh dengan kayu dan batu apung, yang di pelbagai tempat mengumpul menjadi semacam pulau besar yang menutupi jalan masuk ke Teluk Lampung.”
“Tampang kapal Loudon benar-benar mengejutkan. Ia lebih mirip kapal yang tenggelam sepuluh tahun di dasar laut dan baru diangkat kembali. Kami melayari Selat Sunda dan pagi-pagi sekali Krakatau nampak kembali. Sekarang kami baru mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Seluruh pulau itu meledak sampai hancur lebur dan sebagian besar hilang. Dinding kawahnya sama sekali runtuh, kami hanya melihat celah-celah raksasa yang mengeluarkan asap dan uap.”
“Di laut, antara Pulau Sebesi dan Pulau Krakatau yang tadinya masih merupakan jalur pelayaran, kini bermunculan pulau-pulau vulkanik kecil dan berpuluh gosong arang timbul dari permukaan air. Pada delapan tempat tampak asap dikelilingi uap putih dari laut.”
“Dengan lambat kami mendekati pantai Jawa. Pemandangan yang terlihat hampir tak terperikan. Segalanya telah diratakan menjadi gurun tak bertuan. Waktu kami berlabuh di Teluk Anyer, kami baru menyadari bahwa pelabuhan kecil itu sudah tidak ada lagi. Semuanya telah tersapu bersih, tiada rumah, tiada semak, bahkan tak ada batu yang kelihatan! Hanya sebuah tonggak masih menandai bekas tempat berdirinya mercusuar. Selebihnya tidak ada apa-apa lagi, kehampaan dan kesepian…”
“Yang dulunya merupakan kampung-kampung yang makmur, kini hanya hamparan lumpur kelabu. Sungai penuh dengan puing dan lumpur. Di mana-mana tak nampak tanda-tanda kehidupan…”
“Pulau-pulau di Selat Sunda juga tak luput dari musibah. Pulau Sebesi yang pernah dihuni dua ribu orang, kini hanya tinggal seonggok bukit abu, sampai puncaknya yang hampir lima ratus meter tingginya itu, dan semua tumbuh-tumbuhan tak berbekas. Tak terlihat perahu atau desa lagi. Demikian pula keadaan pulau-pulau lain, Pulau Sebuku dan Pulau Sangiang.”
Hujan Lumpur
“Pada tanggal 29 Agustus kami kembali di Lautan Hindia. Makin ke utara, makin kurang kelihatan akibat malapetaka besar itu. Kemudian di Padang dan beberapa tempat lainnya kami bertemu dengan orang-orang yang mendengar ledakan-ledakan dan gemuruh Krakatau. Yang aneh ialah bahwa kami yang berada di tempat yang paling dekat dengan Krakatau, tidak mendengar dentuman-dentuman itu.”
Itulah kisah seorang penumpang kapal yang melihat malapetaka itu dari jarak jauh. Dari kota Teluk Betung sendiri ada saksi mata yang selamat. Menurut dia gelombang pasang yang pertama tiba tanggal 27 Agustus pagi sekitar pukul setengah tujuh, yang merebahkan lampu pelabuhan, gudang batu bara, gudang di dermaga, dan melemparkan kapal Barouw dari sisi timur bendungan melewati pemecah gelombang sampai ke Kampung Cina. Gudang garam rusak dan Kampung Kangkung beserta beberapa kampung di pantai lainnya dihanyutkan. Kapal pengangkut garam Marie terguling di teluk, tetapi kemudian dapat tegak kembali. Orang juga melihat kapal Loudon berlabuh, kemudian berlayar lagi pada pukul tujuh. Langit berwarna kuning kemerah-merahan seperti tembaga, dari arah Krakatau terlihat kilatan-kilatan api, hujan abu turun tiada hentinya, tetapi sekitar pukul delapan keadaannya tenang.
Sementara orang-orang yang sempat mengungsi ke tempat yang tinggi waktu itu masih sempat kembali ke rumah masing-masing untuk menyelamatkan apa saja yang masih bisa diambil, atau untuk melihat keadaan.
Kurang lebih pukul sepuluh tiba-tiba terdengar letusan hebat yang membuat orang terpaku. Suatu pancaran cahaya dan kilat terlihat di arah Krakatau.
Segera setelah letusan itu hari mulai remang-remang. Kerikil batu apung mulai bertaburan. Menjelang pukul sebelas hari gelap seperti malam, hujan abu berubah menjadi hujan lumpur. Selanjutnya apa yang tepatnya berlangsung, tiada yang tahu, karena yang selamat berlindung di rumah residen dan hanya mendengar deru dan gemuruh sepanjang malam yang disebabkan oleh angin topan yang mematahkan ranting, menumbangkan kayu-kayuan, dan melemparkan lumpur pada kaca-kaca jendela. Para pelarian itu tidak sadar bahwa gelombang pasang sebenarnya sudah mendekati tempat pengungsiannya sejauh 50 m di kaki bukit.
Baru keesokan harinya orang mengetahui betapa besar kehancuran yang terjadi. Seluruh dataran diratakan dengan tanah, tiada rumah maupun pohon yang masih tegak. Yang ada hanya abu, lumpur, puing, kapal ringsek, dan mayat manusia maupun hewan bertebaran di mana-mana. Kapal Barouw sudah tak terlihat lagi.
Baru kemudian kapal yang naas itu ditemukan di lembah Sungai Kuripan, di belakang belokan lembah pada jarak 3.300 m dari tempat berlabuhnya, dan 2.600 m dari Pecinan, tempatnya dicampakkan gelombang pertama pukul setengah tujuh itu. Sejumlah perahu kandas di tepi lembah, sebuah rambu laut ditemukan di lereng bukit pekuburan. Awak kapal Barouw, mualim pertama Amt dan juru mesin Stolk hilang tak ketahuan rimbanya. Bagian pantai Sumatra yang terjilat malapetaka Krakatau paling parah, terutama adalah yang letaknya berhadapan dengan Selat Sunda. Misalnya tempat-tempat di tepi Teluk Semangka.
Terjepit Dua Rumah
Seorang Belanda yang mengalami pribadi kedahsyatan letusan Krakatau dan berhasil mempertahankan hidupnya adalah seorang controleur yang ditempatkan di Beneawang, ibukota afdeling Semangka, yang letaknya di Teluk Semangka, Lampung. PLC. Le Sueur, pejabat Belanda itu, melaporkan kepada atasannya dalam sepucuk surat tertanggal 31 Agustus 1883 sebagai berikut:
“Pada hari Minggu sore, menjelang pukul empat, sewaktu saya sedang membaca di serambi belakang rumah saya, tiba-tiba saja terdengar beberapa dentuman yang menyerupai letusan meriam. Saya mengira bahwa residen yang menurut rencana akan tiba besok dengan kapal bersenjata pemerintah telah mempercepat jadwal kunjungannya. Saya segera mengumpulkan para kepala adat dan pejabat setempat ke pantai. Tetapi kami tidak melihat ada kapal di laut. Saya segera kembali ke rumah.”
“Baru saja saya sampai di rumah, seorang pesuruh melaporkan bahwa air laut mulai naik dan beberapa kampung di pantai sudah tergenang. Saya segera berangkat lagi untuk menertibkan keadaan di antara rakyat yang mulai panik dan memanggil-manggil nama Allah. Saya menyuruh mereka membawa wanita dan anak-anak ke tempat-tempat yang letaknya lebih tinggi. Kemudian air surut lagi dengan cepat, tetapi mulai hujan abu.”
“Sekitar pukul empat pagi saya dibangunkan oleh orang-orang yang memberitakan bahwa di kaki langit terlihat cahaya kemerah-merahan. Saya merasa khawatir…”
“Pukul enam pagi, hari Senin, saya pergi ke pantai. Permukaan air laut jauh lebih rendah dari biasanya. Sementara batu karang yang biasanya tak nampak, kini menjadi kering. Selanjutnya saya mendengar guruh sambung-menyambung, sehingga saya khawatir masih ada hal-hal yang lebih mengerikan yang akan menimpa kami…”
“Setiba di rumah saya menyuruh memanggil Van Zuylen (pembantu saya) untuk menulis rancangan surat kepada residen tentang apa yang terjadi. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh lewat, tetapi cuaca begitu gelap sehingga lampu-lampu masih menyala. Sejurus kemudian kata Van Zuylen: ‘Maaf tuan, untuk sementara saya berhenti menulis saja. Saya merasa gelisah’.”
“Baru saja ia mengatakan itu, tiba-tiba kami mendengar ribut-ribut. Laki-laki, perempuan, dan anak-anak berlarian sambil berteriak: ‘Banjir! Banjir!’. Van Zuylen dan saya segera keluar dan menawari orang-orang itu agar berlindung di rumah saya saja, karena rumah saya terletak di tempat yang agak tinggi dan dibangun di atas tiang. Tetapi tak lama kemudian air pasang kembali ke laut sehingga semuanya tenang kembali…”
“Ketenangan itu tak berlangsung lama: Sejurus kemudian air laut kembali lagi dengan debur dan gemuruh yang menakutkan. Di rumah saya saat itu sudah ada sekitar tiga ratus orang pengungsi. Saya mondar-mandir di antara mereka untuk agak menenangkan mereka. Tiba-tiba saya mendengar serambi depan runtuh dan air segera menerjang ke dalam rumah. Saya menganjurkan mereka untuk pindah ke serambi belakang. Baru saja saya mengatakan itu, tiba-tiba seluruh rumah roboh berantakan dan kami semuanya terseret oleh arus air.”
“Setelah itu saya tak tahu lagi apa yang terjadi. Saya berhasil meraih sekerat papan dan mengapung mengikuti aliran air, sampai kaki saya tersangkut sesuatu sehingga papan itu harus saya lepaskan. Setelah itu saya berhasil menggapai beberapa keping atap. Saya berpegangan erat-erat sampai air kembali ke laut dan kaki saya menginjak tanah. Saya menggunakan jas saya untuk melindungi kepala dari hujan lumpur.”
“Di kejauhan saya mendengar suara minta tolong dari laki-laki, perempuan, dan anak-anak, tetapi saya tak berdaya menolong. Saya tak bisa berdiri karena lemas, takut, dan terkejut, lagi pula tak terlihat apa-apa sebab gelap. Saya mendengar air datang lagi dengan kuatnya. Saya hanya bisa berdoa sejenak memohon penyelamatan nyawa kami semua sambil menyiapkan diri untuk menghadapi maut. Lalu saya dihanyutkan oleh air, diputarkan, lalu dicampakkan dengan kekuatan dahsyat. Saya terjepit di antara dua rumah yang mengapung. Saya tak bisa bernapas lagi rasanya. Saya mengira bahwa ajal saya sudah sampai. Tetapi tiba-tiba kedua rumah itu terpisah lagi. Kemudian Saya mendapat batang pisang yang tak saya lepaskan lagi…”
“Dengan batang pisang itu saya mengapung beberapa lama, berapa lama tepatnya saya tak tahu lagi. Waktu air surut, saya terduduk saja, barangkali sejam lamanya saya di situ tanpa bergerak. Di sekitar saya masih gelap gulita dan hujan lumpur berlangsung terus.”
Kontrolir Berteriak Minta Tolong
“Akhirnya Saya mendengar suara-suara manusia di dekat tempat itu. Saya memanggil, bangkit, lalu mulai berjalan tertatih-tatih dengan mata tertutup lumpur sambil meraba-raba jalan saya. Semua pakaian saya, kecuali baju kain flanel, telah tercabikkan dari badan saya. Saya berjalan dalam keadaan kedinginan di bawah hujan lumpur, tetapi tidak berhasil menemukan orang-orang yang saya dengar suaranya itu.”
“Saya menginjak semak-semak berduri dan kulit saya tercabik oleh duri rotan, sedang saya lebih banyak jatuh bangun daripada berjalan. Akhirnya saya mendengar ada orang berkata dalam bahasa Lampung: ‘Kita tak jauh dari sungai besar.’ Saya mempercepat jalan saya sedapatnya, menyapu lumpur dari mata saya lalu bergegas menuju ke arah suara tadi. Saya bertemu seorang Jawa, seorang Palembang, dan beberapa wanita Jawa.”
“Tak lama kemudian kami melihat cahaya obor dari jauh. Tanpa berhenti saya berteriak : ‘Tolong! Tolong! Saya kontrolir!’ Tetapi agaknya pembawa obor itu tak mendengar suara saya. Beberapa kali kami melihat cahaya itu, tapi kemudian menghilang di dalam kegelapan. Ketika itu semestinya sudah pukul delapan atau sembilan pagi, tetapi masih gelap gulita…”
“Akhirnya ada juga seorang pembawa obor yang datang mendapatkan kami. Saya katakan kepadanya siapa saya, lalu ia mengantarkan saya melewati hutan semak berduri dan mengarungi lumpur ke Kampung Kasugihan, kemudian diteruskan ke Penanggungan. Hari sudah pukul delapan malam waktu kami tiba di sana. Di kampung ini saya baru beristirahat sejam ketika kami mendengar gemuruh air, sehingga tempat ini juga masih belum aman. Kami melarikan diri lagi ke arah pegunungan. Setelah dua jam berjalan kami mencapai desa Payung yang terletak di lereng Gunung Tanggamus. Di tempat ini ada yang memberi saya sehelai sarung, sehingga saya berpakaian agak pantas.”
“Mujur bahwa saya mendapat sambutan baik dari kepala desa maupun rakyatnya, sehingga setiap hari saya bisa makan nasi dengan lauk ayam. Pada hari Selasa saya menyuruh orang untuk menyelidiki siapa-siapa yang masih hidup dari tempat-tempat di pantai. Hasilnya amat menyedihkan. Hampir seluruh Beneawang musnah. Saya perkirakan korban jiwa di daerah ini ada sekitar seribu orang. Banyak kampung lenyap. Di banyak desa terjadi kelaparan.”
“Mohon dikirim beberapa potong pakaian, sebab saya tak mempunyai apa-apa lagi, juga sepatu dan selop.”
Hujan Batu Apung Membara dan Abu Panas
Menurut laporan resmi, di Beneawang sekitar 250 orang meninggal, termasuk hampir semua pemuka adat daerah itu yang berkumpul untuk menyambut kedatangan Residen. Termasuk Van Zulyen, Klerk Griffier pembantu Le Sueur, satu-satunya orang Belanda yang tewas. Kampung-kampung di sebelah barat dan timur Teluk Semangka mengalami penghancuran total atau sebagian; di Tanjungan dan di Tanjung Beringin yang terletak di dekatnya, 327 orang dinyatakan hilang, di Betung yang berdekatan, 244 orang. Dari Ketimbang di pantai Teluk Lampung kita ikuti kisah kontrolir Beyerink yang lebih mengenaskan, karena ia pribadi kehilangan seorang anggota keluarganya dalam malapetaka itu.
“Pada Minggu sore, tanggal 26 Agustus itu distrik kami ditimpa hujan abu dan batu apung yang membara. Rakyat melarikan diri dalam suasana panik. Abu yang jatuh itu begitu panasnya, sehingga hampir semua orang menderita luka bakar pada muka, tangan, dan kaki. Di antara penduduk yang berjumlah kurang lebih tiga ribu orang yang mengungsi bersama saya ke daerah yang lebih tinggi, paling sedikit ada seribu orang yang meninggal karena luka bakar. Seorang di antara anak saya juga ikut meninggal. Kami terpaksa memakamkannya dalam abu.”
Antar pukul sembilan dan sepuluh malam air mulai menggenangi rumah kontrolir. Ini merupakan dorongan kuat bagi Beyerink untuk mengajak keluarganya yang terdiri atas istrinya dan kedua anaknya yang masih kecil memgungsi ke Kampung Umbul Balak di lereng Gunung Rajabasa.
Semalam-malaman turun hujan kerikil dan abu, hari Minggunya sampai pukul sebelas hujan deras, paginya antara pukul sembilan dan sepuluh jatuh kepingan-kepingan batu apung, ada yang sebesar kepala. Ledakan-ledakan sudah terdengar terus-menerus sejak hari Minggu dan sejak hari Senin tercium bau belerang.
Gelegar letusan terhebat terdengar sekitar pukul sepuluh, disusul segera oleh kegelapan total. Tak lama kemudian mulai turun abu panas, yang rasanya sangat nyeri saat mengenai kulit. Ini berlangsung kira-kira seperempat jam, mungkin lebih lama, disertai uap belerang yang menyesakkan napas. Sesudah itu turun hujan lumpur, yang melekat pada tubuh seperti lem, tetapi lebih mending daripada abu panas yang mengakibatkan luka-luka bakar.
Lumpur dan abu silih berganti berjatuhan semalam suntuk, mungkin juga sampai Selasa pagi. Selama lima hari Beyerink dengan keluarganya menderita di bawah tempat berteduh yang sederhana, dikelilingi sejumlah besar rakyat yang ikut melarikan diri ke tempat itu. Mereka semuanya sangat menderita, terutama oleh luka-luka bakar yang tak diobati. Anak terkecil keluarga Beyerink akhirnya meninggal karena luka-lukanya dan keadaan yang menyedihkan itu.
Akhirnya mereka dibebaskan oleh kapal bargas Kedirie yang pada Sabtu pagi, tanggal 31 Agustus membuang sauh di Teluk Kalianda. Nakhoda kapal beserta beberapa anak buahnya melakukan peninjauan ke darat. Mereka mendengar bahwa kontrolir dan keluarganya mengungsi di Umbul Balak. Mereka bergegas menjemputnya. Dengan bantuan tandu keluarga yang malang itu akhirnya dapat dibawa ke pantai dan hari itu juga Kedirie bertolak ke Jakarta.
Tersangkut Di Pohon
Kapal bargas Kedirie menyelamatkan sejumlah korban, di antaranya seorang kakek yang berumur sekitar enam puluh tahun, bernama Kimas Gemilang, yang kemudian dirawat di rumah sakit umum di Jakarta. Dalam sebuah wawancara dengan harian berbahasa Belanda ia mengisahkan pengalamannya sebagai berikut:
“Pada hari Senin pagi, sekitar pukul enam, saya menuju ke pantai, tak jauh dari rumah saya di Ketimbang. Saya melihat permukaan air laut sangat tinggi, jauh lebih tinggi daripada sehari-hari, tetapi saya tidak melihat gelombang atau hal lain yang mencurigakan. Sekitar sepuluh menit kemudian, saya melihat air menggulung dari kejauhan, warnanya hitam dan tingginya menyerupai gunung. Saya hendak melarikan diri, tetapi sudah tak keburu sebab air telah mencapai saya, sehingga saya terseret. Mujurnya, saya tersangkut pada batang pohon besar. Saya memanjat pohon itu sampai ke puncaknya. Tak lama sesudah itu air menghilang sama cepatnya seperti tibanya tadi. Setelah lewat lima menit gelombang pasang itu datang kembali. Saya tetap bertengger di pohon, tak berani turun. Sesudah lewat sekitar satu jam air pasang tak kembali lagi, barulah saya perlahan-lahan merosot ke bawah. Tetapi saya tak mampu berjalan karena cedera akibat hempasan gelombang tadi. Jadi saya duduk dan rebah di bawah pohon penyelamat itu beberapa hari dan beberapa malam dalam keadaan antara sadar dan tidak, seperti terbius, tanpa mengetahui apa yang terjadi di sekeliling saya. Tentu saja selama beberapa hari itu saya tidak makan dan minum sampai suatu pagi, saya sudah tak tahu lagi hari apa, ada seorang Cina menghampiri saya, lalu mengangkat saya ke perahunya. Di tengah laut kami ditolong oleh sebuah kapal api yang membawa saya kemari.”
Demikianlah kisah beberapa saksi mata yang mengalami secara pribadi malapetaka Krakatau itu. Para pengamat waktu itu setelah mengumpulkan data yang diperoleh, menyimpulkan bahwa letusan Krakatau bulan Agustus 1883 itu tidak disertai atau didahului oleh gempa kuat. Di beberapa tempat memang terasa guncangan ringan.
Bulan dan Matahari Berwarna-Warni
Yang meminta korban jiwa maupun kerusakan paling berat adalah air pasang yang melanda pantai-pantai yang berbatasan dengan Selat Sunda dan utara Pulau Jawa. Hanya sebagian kecil korban diakibatkan oleh abu panas, sedang awan panas dan gas beracun tak tercatat. Dari laporan-laporan ternyata bahwa gelombang pasang itu terjadi tiga kali, yang pertama pada hari Minggu pukul 18.000, pada hari Senin sekitar pukul 06.30, dan pukul 10.30. Gelombang yang terakhir adalah yang terbesar, yang menyebabkan kerusakan paling banyak.
Penghancuran Teluk Betung dan Caringin terutama diakibatkan oleh gelombang yang terakhir itu. Setelah aktif selama 121 hari sejak bulan Mei dan puncak ledakan tanggal 28 Agustus itu akhirnya semuanya menjadi tenang kembali. Krakatau lenyap seperti ditelan bumi; hampir seluruh belahan utara pulau itu hilang. Yang tinggal hanya bebatuan sepanjang 813 meter. Gunung berapi Danan dan Perbuatan juga gaib, dan di tempat itu terbentuk kaldera raksasa yang berdiameter 7,4 km. Abu halus yang dilontarkan ke angkasa ditiup ke arah barat oleh angin dan keliling dunia dengan kecepatan 121 km tiap jamnya. Setelah enam minggu, dalam bulan Oktober 1883 suatu sabuk debu dan abu halus menyebar sekitar bumi. Hanya dua hari setelah letusan abu halus itu sudah meliputi benua Afrika dan lima belas hari kemudian telah mengitari bumi, mengkibatkan suatu kabut di seluruh daerah khatulistiwa yang menyebar sedikit demi sedikit.
Pada tanggal 30 Nopember kabut itu mencapai Eslandia. Kabut itu menyebabkan pelbagai dampak optik, termasuk senja kala yang gilang-gemilang, matahari dan bulan berwarna, dan munculnya corona. Di banyak tempat di dunia terlihat matahari atau bulan berwarna merah jambu, hijau, biru. Enam bulan setelah letusan Krakatau, penduduk Missouri di Amerika Serikat melihat matahari kuning dengan latar belakang langit hijau.
Sebuah majalah populer Belanda memberi judul karangan tentang letusan Krakatau: ‘LEBIH HEBAT DARI BOM ATOM.’
Ledakan bom atom bukan apa-apa dibandingkan dengan letusan Krakatau. Bom atom pertama yang diledakkan sebagai percobaan di dekat Los Alamos pada tanggal 16 Juni 1945 memancarkan energi sebesar 0,019 Megaton, sedangkan ledakan Krakatau diperkirakan sebesar 410 megaton! Kekuatan letusan itu setara dengan 21.428 bom atom. Sedangkan korban jiwa yang direnggutnya oleh gelombang pasang merupakan yang tertinggi yang pernah tercatat sampai hari ini. Ini belum terhitung korban tidak langsung yang meninggal oleh penyakit dan kelaparan yang terjadi kemudian.
Read more »

fenomena alam aneh

Fenomena Alam Aneh, Air Terjun Mengeluarkan Darah Yang Mengalir Terus (Video+Pics)

Inilah salah satu fenomena alam yang langka terjadi, bagaimana tidak dari sebuah sumber air yang mengalir pada sebuah air terjun bisa terdapat aliran darah yang mengalir terus menerus namun agak lambat. Hal ini terjadi di sebuah Gletser di Antartika tepatnya di lembahMc Murdo wilayah kutub selatan. Pertama kali seorang geolog menemukan air terjun beku tahun 1911 dan mereka menemui hal aneh yang mereka kira adalah warna merah yang mengalir merupakan warna yang berasal dari ganggang merah, namun sifta sejatinya ternyata lebih dari yang mereka duga.
Fenomena Alam yang sangat aneh dan langka, sebuah air terjun mengeluarkan semacam darah terus menerus
Fenomena Alam yang sangat aneh dan langka, sebuah air terjun mengeluarkan semacam darah terus menerus
Kira-kira 2 juta tahun yang lalu Gletser Taylor terkurung dibawah aliran air yang mengandung kumpulan mikroba kuno, dan mereka terisolasi disana dibawah lapisan es yang sangat tebal secara alami, berkembang secara independen mikroba ini hidup tanpa cahaya, panas dan oksigen, dan disana mereka terperangkap pada suatu kondisi salinitas yang sangat tinggi dan kaya akan zat besi sehingga memberikan warna yang merah sama dengan zat besi dalam darah.
Para Ilmuwan memperkirakan cairan seperti darah ini berasal dari mikroba kuno yang terperangkap di dalam celah es
Para Ilmuwan memperkirakan cairan seperti darah ini berasal dari mikroba kuno yang terperangkap di dalam celah es
Dan Air terjun ini terjadi karena adanya sebuah celah dari gletser tersebut yang memungkinkan air subglacial tersebut keluar, membentuk air terjun tanpa mencemari ekosistem didalamnya. Para ilmuwanpun akhirnya menduga dari kesimpulan tersebut bisa sangat mungkin terjadi juga di planet planet lain seperti Mars dan Yupiter, Air terjun berdarah ini benar benar suatu fenomena alam yang ajaib baik secara visual maupun ilmiah.
(Dari Livejournal/Terjemah Ruanghati)

Fenomena Alam yang sangat aneh dan langka, sebuah air terjun mengeluarkan semacam darah terus menerus
Fenomena Alam yang sangat aneh dan langka, sebuah air terjun mengeluarkan semacam darah terus menerus


Untung aja terjadinya jauh disana, coba aja kalo di sini, wah sudah dipakai untuk cari berkah dan cari nomer togel tuh, nanti dikait-kaitkan sama siluman siapa atau bangsa bangsa lelembut apa aja dah.
Read more »

TEKNOLOGI MENGURANGI POLUSI PADA KENDARAAN BERMONTOR


Teknologi Baru untuk Mengurangi Polusi Kendaraan Bermotor

Ditulis oleh Redaksi chem-is-try.org pada 05-07-2009
polusi-mobilSuatu alat yang dinamakan plasmatron secara drastis dapat mengurangi asap yang berasal dari kendaraan bermotor. Alat tersebut telah diuji coba di Massachusetts Institute of Technology (MIT), dan diharapkan dapat dibeli dengan harga murah serta sesuai (compatible ) dengan peralatan mesin kendaraan yang ada pada saat ini. Peneliti MIT mengatakan bahwa pertama kali plasmatrondipasang pada mesin mobil komersial kemudian diuji coba selama dua minggu. Para penemu alat tersebut mengatakan bahwa hasil uji coba memperlihatkan pengurangan polusi yang sangat besar terutama pengurangan Nitrogen Oksida (NO2) dari 2.700 ppm (parts per million ) tanpa plasmatron menjadi tinggal 20 ppm setelah menggunakan plasmatron.
Daniel R.Cohn, Ketua Divisi Teknologi Plasma dari Plasma Science and Fusion Center (PSFC), mengatakan bahwa penemuan tersebut merupakan suatu era baru bagi pengurangan polusi kendaraan bermotor. Menurut Cohn : “Sukses perpaduan antara plasmatron dengan mesin mobil, membuat langkah selanjutnya untuk pengujian di jalan raya”. Menurut para peneliti,plasmatron bekerja seperti proses penyulingan minyak (oil refinery) yakni mengkonversikan berbagai bahan bakar kedalam gas yang kaya akan hidrogen berkualitas tinggi. Bahan bakar yang diinjeksikan kedalam plasmatron dibuka ke aliran listrik yang merubah bahan bakar dan udara disekitarnya kedalam plasma. Plasma mempercepat laju reaksi dan menghasilkan gas yang kaya akan hidrogen. Walaupun alat tersebut pada saat ini telah digunakan dalam aplikasi industri, namun yang digunakan di industri jauh lebih besar dibandingkan dengan versi MIT selain lebih boros energi dalam mengoperasikannya.
Dr.Cohn menegaskan bahwa merekalah yang pertama kali mengembangkan plasmatron dalam ukuran kecil dan dengan daya yang rendah, yakni lebih kecil dari satu kilowatt. Lebih lanjut Dr.Cohn menambahkan bahwa mereka pulalah yang pertama kali mengaplikasikan dengan menambahkan alat tersebut ke mesin mobil untuk mengurangi polusi kendaraan bermotor. Langkah selanjutnya adalah memasang plasmatron pada kendaraan sebenarnya yang beroperasi di lapangan. Nantinya para peneliti mengharapkan dapat menerapkan pemakaian plasmatron tersebut pada bus. Walaupun pengujian yang dilakukan pada saat ini menggunakan mesin dengan bahan bakar bensin, para peneliti mengatakan bahwa penemuan mereka berlaku juga bagi bahan bakar diesel dan biofuels. Para peneliti mempunyai lima patent yang berhubungan dengan plasmatron.
Pelitian tersebut disponsori oleh “DOE Office of Heavy Vehicle Technologies 
Read more »

Senin, 24 Januari 2011

Lingkaran tanaman

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Sebuah pola lingkaran tanaman
Lingkaran tanaman (dari bahasa Inggris:Crop circles) adalah suatu pola teratur yang terbentuk secara misterius di area ladang tanaman, seringkali hanya dalam waktu semalam. Fenomena ini pertama kali ditemukan di Inggris pada akhir 1970, dengan bentuk pola-pola lingkaran sederhana. Pada masa-masa setelahnya, pola-pola tersebut kini cenderung bertambah rumit dan tidak terbatas hanya pada hanya bentuk lingkaran. Namun karena mengacu pada asal-usulnya, maka istilah lingkaran tanaman ini masih dipertahankan.
Mereka yang mempelajari fenomena lingkaran tanaman ini sering disebut juga dengan istilah "cerealogis", dan ilmu yang mempelajari fenomena ini disebut dengan cereolog. Para Cerealogis kemudian mengembangkan istilah baru untuk fenomena ini, yaitu agriglif.
Fenomena "lingkaran tanaman" seringkali dikait-kaitkan dengan isu UFO atau makhluk luar angkasa.

Daftar isi

[sembunyikan]

[sunting] Fenomena di Indonesia

Pada hari Minggu tanggal 23 Januari 2011 pukul 17.00 WIB, pihak Kepolisian Republik Indonesia di sektor Sleman, Yogyakarta membenarkan munculnya lambang misterius berdiameter 70 meter yang dicurigai terkait dengan isu UFO atau makhluk luar angkasa yang dikenal dengan sebutan lingkaran tanaman atau crop circle di daerah persawahan di Gunung Suru, Jogotirto, Berbah, di Sleman. Pihak kepolisian yang menyelidiki bahkan telah mengabadikan foto langka tersebut sebagai dokumentasi. Lingkaran tanaman di ladang tersebut diyakini sebagai kejadian yang pertama di Indonesia dan juga disaksikan para warga sekitar tempat kejadian tersebut walaupun cuaca hujan dan tidak baik. Para warga sendiri meyakini lambang tersebut adalah simbol pendaratan pesawat UFO dari planet lain. [1] Seorang anak kecil mengaku melihat kejadian tersebut saat cuaca buruk di hari itu dan menyebutkan bahwa sebuah angin puting beliung terlihat naik turun di ladang tersebut dan membentuk lambang misterius tersebut. [2]
Read more »

KEAJAIBAN

1. Grand Canyon
Grand Canyon adalah sebuah jurang tebing-terjal, diukir oleh Sungai Colorado, di utara Arizona. Jurang ini merupakan satu dari Tujuh Keajaiban Dunia dan sebagian besar berada di Taman Nasional Grand Canyon; salah satu taman nasional pertama di Amerika Serikat. Presiden Theodore Roosevelt merupakan salah satu pendukung utama wilayah Grand Canyon, mengunjunginya dalam beberapa kesempatan untuk berburu singa gunung dan menikmati pemandangan alam yang luar biasa.
Jurang ini, diciptakan oleh Sungai Colorado memotong sebuah selat selama jutaan tahun, panjangnya kira-kira 446 km, dengan lebar mulai dari 6 sampai 29 km dan dengan kedalaman lebih dari 1.600 m. Hampir dari 2000 juta tahun sejarah Bumi telah terpotong oleh Sungai Colorado dan anak sungainya lapis demi lapis sedimen ketika Dataran Tinggi Colorado mulai terangkat.

Grand Canyon pertama kali dilihat oleh orang Eropa pada 1540, García López de Cárdenas dari Spanyol. Ekspedisi saintifik pertama ke canyon ini dipimpin oleh Mayor AS John Wesley Powell pada akhir 1870-an. Powell menunjuk ke batuan sedimen yang terbuka di jurang sebagai “daun dalam buku cerita agung”. Namun, jauh sebelum masa itu, wilayah ini telah ditinggali oleh Penduduk Asli Amerika yang membangun tempat tinggal di tembok jurang ini
Grand Canyon
Keajaiban Dunia
2. Great Barrier Reef/Karang Penghalang Besar
Great Barrier Reef adalah kumpulan terumbu karang terbesar dunia yang terdiri dari kurang lebih 3.000 karang dan 900 pulau, yang membentang sepanjang 2.600 km. Karang ini berlokasi di Laut Koral, lepas pantai Queensland di timur laut Australia. Sebagian besar wilayah karang ini termasuk bagian yang dilindungi oleh Taman Laut Karang Penghalang Besar (Great Barrier Reef Marine Park).
Karang Penghalang Besar (KPB) dapat dilihat dari luar angkasa dan kadang disebut sebagai organisme tunggal terbesar di dunia. Pada kenyataannya, ia terbentuk dari berjuta organisme kecil, dikenal dengan sebutan polip koral (coral polyp). KPB dipilih sebagai sebagai salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO pada tahun 1981.
Kekayaan biodiversitasnya, perairannya yang hangat dan jernih, serta keterjangkauannya dari fasilitas terapung yang disebut live aboards, membuat karang ini menjadi tujuan pariwisata yang sangat populer, terutama bagi para penyelam scuba. Banyak kota di sepanjang pesisir pantai Queensland yang menawarkan wisata laut ke karang ini setiap harinya. Beberapa pulau kontinental juga telah berubah fungsi menjadi resor.
Great Barrier Reef
Karang Penghalang Besar
3. Mount Everest
Mount Everest adalah gunung tertinggi di dunia (jika diukur dari paras laut). Rabung puncaknya menandakan perbatasan antara Nepal dan Tibet puncaknya berada di Tibet. Gunung ini mempunyai ketinggian sekitar 8.850 m. Gunung ini mendapatkan nama bahasa Inggrisnya dari nama Sir George Everest. Nama ini diberikan oleh Sir Andrew Waugh, surveyor-general India berkebangsaan Inggris, penerus Everest. Puncak Everest merupakan salah satu dari Tujuh Puncak Utama di dunia.
Mount Everest
gunung tertinggi di dunia
4. Air Terjun Victoria
Air terjun Victoria merupakan salah satu air terjun paling spektakuler di dunia. Air terjun ini terletak di Sungai Zambezi, yang pada saat ini membentuk perbatasan antara Zambia dan Zimbabwe. Air terjun ini memiliki lebar kira-kira 1 mil (1,6 km), dengan ketinggian 128m (420 kaki).
David Livingstone, penjelajah Skotlandia, mengunjungi danau ini pada 1855 dan menamakannya atas nama Ratu Victoria, sedangkan nama lokalnya adalah Mosi-oa-Tunya, “asap menggelegar.” Air terjun ini merupakan bagian dari dua taman nasional, Mosi-oa-Tunya National Park di Zambia dan Victoria Falls National Park di Zimbabwe, dan juga Situs Warisan Dunia UNESCO. Air terjun ini merupakan obyek wisata utama di Afrika Selatan.
Air Terjun Victoria
5. Northern Lights
Salah satu keajaiban dunia adalah Northern Lights atau dikenal juga dengan istilah Aurora Borealis. Kejaiban cahaya warna-warni ini terbentuk akibat interaksi lapangan magnetik di Bumi dengan partikel matahari.
Northern Lights
6.Volkano Paricutín
Volkano Paricutín, adalah sebuah gunung berapi yang terdapat di negara bagian Michoacan, Meksiko. Sebelum tahun 1943 gunung berapi ini tidak ada, namun tiba-tiba terdapat aktivitas vulkanik yang mengakibatkan orang-orang di sekitar sana mengungsi, gunung muda itu terus bertambah tinggi, dalam sehari menjadi 50 meter dan saat ini aktivitasnya bisa dikatakan berhenti, dan ketinggian gunung mencapai 336 meter.
Volkano Paricutín
7. Pelabuhan Rio de Janeiro
Rio de Janeiro (bermakna “Sungai Januari” dalam bahasa Portugis) adalah ibu kota Negara Bagian Rio de Janeiro di Brasil bagian tenggara.Kota ini mempunyai luas sebesar 1.256 km² dan penduduk sekitar 6.150.000 juta jiwa (2004).Sekitar 10 juta orang tinggal di wilayah metropolitan Rio de Janeiro Raya, yang saat ini merupakan kota terbesar keempat di dunia.
Letak pelabuhan Rio De Janeiro sangat unik yaitu tepat berada di ujung muara sungai antara pertemuan laut dan sungai, selain kota pelabuhan kota tersebut juga mempunyai letak dan pemandangan geografis yang sangat indah, Brazil ditemukan dan dijajah oleh portugis pada tahun 1565 sehingga budaya , bahasa, kebiasaan, juga makanan mengacu kepada negara portugal yaitu karena adanya ikatan bathin antara dua negara tersebut.
Pelabuhan Rio de Janeiro
Read more »

al qur'an

 
Powered by Blogger